Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SURAT UNTUK PRESIDEN (Cerpen)

Alhamdulillah,” ucap syukur terpanjatkan melihat Istana Negara Jakarta di hadapan. Rasa tak percaya dan sesekali pejamkan mata memastikan apa ini hanya mimpi. Dengan percaya diri dan senyum tipis, melangkahkan kaki memberanikan diri menuju pintu utama.

Sampai di depan pintu, terdengar seseorang dibelakangku mengucapkan salam “Assalamualaikum”. Betapa terkejut, ketika menoleh ternyata pak Presiden berdiri dengan senyum khasnya. “Bapak, Presiden?” tegurku dan bapak Presiden merespon dengan menganggukkan kepala.

“Hai anak muda, kenapa belum menjawab salamku,” tegurnya sambil mengucapkan salam kembali. Aku segera mungkin menjawab salamnya, kemudian bersalaman dan memperkenalkan diri “Saya Naura pak.”

“Nama yang bagus” tegasnya, kemudian membukakan pintu dan mempersilahkan masuk ke dalam Istana Negara. “Wauuu,” kata pertama yang terucap tatkala melihat ruang utama yang disebut sebagai Jantung Istana Negara. Diantara kemewahan barang-barang yang ada di dalamnya, terlihat lukisan presiden terdahulu terpajang rapi dan satu persatu aku lihat.

“Suatu saat nanti akan ada lukisanmu dan dipajang di ruang ini,” jelas bapak Presiden sambil menepuk pundakku. “Kamu akan menjadi orang sukses” tambahnya dan aku segera mengaminkannya.

Kemudian, dengan memberanikan diri menyampaikan keinginan. “Naura ingin didoakan oleh bapak, agar suatu saat bisa menjadi presiden Indonesia,” mendengar permintaanku bapak Presiden segera mengangkat tangan dan mendoakanku.

“Apa kamu ingin sepeda?” tanayanya setelah berdo’a.

“Naura, sudah punya pak. Apa boleh diganti yang lainnya?” jawabku dan terlihat bapak Presiden tersenyum, kemudian menganggukkan kepala.

Seketika itu teringat bapak Jufri guru kelasku, dan berinisiatif untuk meminta kepada bapak Presiden agar diangkat pegawai negeri. Belum sempat menyampaikan permintaan kedua, terdengar suara ibu memanggil.

“Naura, Naura. Ayo cepat bangun!” begitu ibu memanggil sambil mengetuk pintu kamarku. Betapa terkejutnya, tak percaya dengan yang aku lihat di sekelilingku. “Kok di kamar. Bukannya di Istana Negara. Bapak Presiden kemana?,” gumamku sambil mengusap muka dan mencubit tangan.

Menyadari yang terjadi adalah mimpi, segera mungkin membereskan tempat tidur dan terus mandi. Kemudian, sholat subuh berjamaah dengan bapak dan ibu, dalam doa setelah sholat meminta agar yang dalam mimpi menjadi kenyataan.

Setelah selesai sholat bapak dan ibu langsung bergegas melakukan rutinitasnya masing-masing. Bapak mencari rumput untuk pakan sapi, ibu memasak untuk sarapan pagi. Sedangkan aku membantu ibu memasak.

“Naura, memangnya kamu mimpi apa. Selentingan ibu mendengar doamu memohon dikabulkan?” tanya ibu sambil membuat bumbu untuk membuat kuah.

“Naura bertemu presiden di Istana Negara,” jawabku sambil menggoreng ikan. Mendengar ceritaku, Ibu senyum-senyum dan berkata bahwasanya kalau mimpiku pertanda baik.

“Terus, kamu dikasih sepeda ya?” tanya ibu dengan nada bercanda.

“Naura tidak mau bu. Naura minta didoakan untuk jadi Presiden dan … ,” jawabku dengan raut muka cemberut.

“Dan apa?” tanya ibu karena aku tak meneruskan ceritaku.

“Naura belum mengajukan permintaan kedua, keburu dibangunkan oleh Ibu,” jawabku.

“Kalau Ibu tahu, kamu mimpi ketemu presiden. Ibu akan tidur disampingmu, Ibu ingin minta jadi pembantunya,” guyon ibu sambil tersenyum.

“Ibu. Ibu ini ada ada saja” jawabku dan kemudian Ibu bertanya tentang permintaan yang kedua. Aku menjelaskan permintaan kedua, ingin Pak Jufri guru sekolahku diangkat menjadi Pegawai Negeri.

“Oh itu, permintaan yang baik. Ibu bangga punya anak bisa menghargai gurunya,” tegas ibu sambil mengusap kepalaku.

“Terus, Naura harus bagaimana, agar permintaan kedua bisa sampai ke bapak Presiden?,” tanyaku.

“Ibu tak paham masalah itu, ibu kan orang desa. Lebih baik kamu tanya ke temanmu atau guru-guru di sekolahmu,” jawabnya dan aku menganggukkan kepala.

Setelah selesai membantu ibu memasak, aku langsung bergegas berpakain rapi dan menyempatkan membaca buku pelajaran hari ini. “Naura, Ayo sarapan dulu!,” panggil ibu dan aku segera memenuhi panggilannya setelah memasukkan buku ke dalam tas.

Setelah sarapan pagi, aku diberikan uang saku dan menasehatiku agar bersungguh-sungguh belajar di sekolah. Setelah itu aku pamit untuk berangkat sekolah dan Ibu terlihat berangkat menuju ladang menyusul Bapak dengan membawakan sarapan pagi.

Dengan naik sepeda, aku menuju rumah Faby yang tak begitu jauh untuk berangkat sekolah bersama. Sesampainya, aku menaruh sepeda di samping rumahnya, kemudian menuju pintu dengan mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Dari balik pintu terdengar Faby menjawab salamku, kemudian membukakan pintunya. Faby yang sudah siap berangkat sekolah mempersilahkan untuk duduk sebentar. Faby berpamitan kepada orangtuanya di dapur yang ada belakang rumahnya.

“Naura, ayo kita berangkat!” panggil Faby di luar yang telah siap dengan naik sepedaku, aku pun keluar dan membonceng untuk berangkat sekolah.

Di Perjalanan, aku bilang tadi malam mimpi ketemu Presiden di Istana Negara. “Cuma mimpi, itu hanya bunga-bunga tidur,” kata Faby sambil tertawa.

“Tapi, kata ibu itu pertanda baik,” tegasku.

“Coba ceritakan mimpimu!” pinta Faby dan kemudian aku menceritakan mimpiku.

Mendengar ceritaku, Faby tertarik permintaan yang belum tersampaikan. “Bagaimana kalau kita menulis surat untuk bapak Presiden?” usulku.

“Boleh, itu ide bagus. Nanti di dalam kelas kita tulis suratnya” saran Faby.

Sesampainya di sekolah aku ikut Faby menaruh sepedanya di parkiran, kemudian kita menuju ke kelas. Waktu yang masih pagi dan kita berdua yang datang. Faby memintaku membantu menyapu kelas, kerana hari ini adalah piketnya.

Terdengar bel yang menunjukkan tanda masuk kelas. Karena hari ini adalah hari senin, semua anak-anak bergegas ke halaman sekolah untuk mengikuti upacara bendera. Aku dan anak-anak kelas enam menempati tempat yang telah ditentukan oleh guru. Dan petugas upacaranya adalah dari kelas lima.

Selesai upacara, anak-anak yang lainnya masuk ke kelas. Aku dan Faby menuju kantor mencari pak Jufri, karena tadi tidak terlihat mengikuti upacara. “Pak jufri hari ini tidak masuk karena ada kepentingan keluarga,” jawab pak Benny setelah aku tanya keberadaan pak Jufri.

Aku dan Faby segera masuk kelas dan Faby memberitahu kepada teman-teman bahwasanya pak Jufri hari ini tidak masuk. Ada yang senang, hari ini tidak ada pelajaran, sehingga dapat bermain di dalam kelas. Ada juga yang tidak senang dan memilih membaca buku pelajaran, termasuk aku dan Faby.

Selang beberapa saat, pak Benny masuk ke dalam kelas. “Assalamualaikum,” anak-anak serentak menjawab salamnya. “Hari ini, pak Jufri tidak bisa masuk. Anak-anak silahkan buka buku pelajarannya” tambahnya.

“Pak, boleh usul tidak,” ujar Faby sambil mengacungkan tangan.

“Faby, kamu mau usul apa?” tanya pak Benny.

“Bolehkah hari ini, belajar menulis surat” ujar Faby.

“Surat apa?” tanya pak Banny. “Surat resmi, surat tanah, atau surat cinta” tambahnya sambil bercanda.

“Surat cinta,” jawab sebagian teman-teman..

“Anak kecil, jangan bicara cinta, belum cukup umur,” tegas pak Benny.

“Faby itu katanya suka sama Budi,” celetuk Jeje yang duduk di bangku belakang.

“Itu tidak benar pak” tegas Faby dengan nada sedikit marah.

“Mungkin Jeje yang suka sama Faby pak” celetukku Naura dan diikuti suara riuh dari anak-anak yang lainnya.

“Sudah, berhenti semuanya,” tegur pak Benny.

“Pak, bagaimana kalau menulis surat untuk Presiden,” ungkap Faby.

“Ide bagus. Tapi, suratnya tentang apa?” tanya pak Benny. “Apa mau minta sepeda” sambungnya dan anak-anak yang lain bersamaan bilang setuju.

“Tidak. Bagaimana kalau kita tulis surat yang isinya meminta agar Pak Jufri diangkat menjadi Pegawai Negeri,” ujar Faby.

“Benar pak, kasihan pak Jufri. Hanya beliau yang tidak diangkat. Dan setiap hari mencari ikan untuk tambahan hidupnya” celetukku serius.

“Ok, bapak setuju. Silahkan anak-anak berembuk untuk isi suratnya. Setelah selesai berikan kepada bapak, biar bapak yang akan mengirimnya,” kata pak Benny. “Sekarang bapak tinggal dulu, jangan ramai dan jangan keluar kelas. Setelah ada bel baru boleh istirahat” tambahnya.

Setelah pak Benny meninggalkan kelas, aku dan Faby menuliskan ide di papan tulis. Anak-anak yang lainnya dipersilahkan untuk berkomentar. Setelah hampir satu jam bertukar pikiran akhirnya disepakati isi suratnya. Kemudian dibacakan oleh Faby.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Bapak hari ini sehat, sehingga dapat melaksanakan tugas dengan baik. Perkenalkan kami anak-anak kelas 6 SDN Dungkek I Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep. Perlu bapak ketahui, pada pemilihan kemarin, semua orang tua kami memilih bapak untuk menjadi Presiden. Bapak yang baik hati dan tidak sombong, bapak jadi Presiden salah satunya berkat jasa guru. Untuk itu, kabulkanlah permintaan kami, angkatlah Pak Jufri menjadi Pegawai Negeri. Beliau guru hebat dan terbaik yang berumur 50 puluh tahun dan sudah tiga puluh tahun menjadi guru. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Setelah dibacakan, suratnya ditulis di selembar kertas oleh ayu, karena tulisan ayu yang paling bagus dan rapi. Kemudian, aku dan Faby serta teman-teman yang lainnya menuju kantor untuk memberikan suratnya kepada pak Benny.

“Baik anak-anak, nanti saya kirim suratnya. Kalian berdoa agar suratnya sampai di tangan bapak Presiden, semoga ada jalan terbaik untuk pak Jufri untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil,” kata pak Benny dengan menyakinkan.

Dengan menaruh harapan besar, aku dan anak-anak memilih meninggalkan kantor dan beristirahat, karena terdengar bel berbunyi yang menandakan istirahat telah tiba.

2 komentar untuk "SURAT UNTUK PRESIDEN (Cerpen)"