Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SURAT NAURA UNTUK PRESIDEN (Cerpen)

Tidak seperti biasanya. Hari ini, aku dan Faby berangkat sekolah berjalan kaki karena sepedaku bannya bocor. Hampir sampai di pintu gerbag sekolah, terlihat pak Jufri telah berdiri dengan pakaian rapi dengan kopiah hitam yang menjadi ciri khasnya.

Faby segera berlari dan bersalaman, aku memilih berjalan. Sesampainya di hadapan pak Jufri, aku menundukkan badan, mengucapkan salam, dan bersalaman.

Setelah menjawab salamku, pak Jufri menasehati Faby yang berdiri di sampingnya. “Faby, coba contoh Naura. Kalau ketemu guru, siapapun gurunya, kamu jangan lari. Kamu harus sopan, seperti Naura tadi.”

“Siap Pak. Mohon maaf saya salah,” jawab Faby dengan tegas, kemudian Faby berlari menjauh dan mengikuti gerakanku, dari berjalan sampai bersalaman. Melihat tingkah Faby, pak Jufri hanya tersenyum dan sesekali menahan tawa.

“Ya sudah, kalian masuk,” pintanya, kita pun berjalan menuju kelas. Beberapa langkah berjalan, pak Jufri memanggil. “Naura, Faby. Apa sekarang kalian piket?”.

Mendengar panggilan pak Jufri, aku menoleh. “Tidak pak.”

“Saya dan Naura piketnya hari senin,” tambah Faby yang juga menoleh.

“Bapak bisa minta tolong?” tanyanya.

“Boleh Pak, dengan senang hati,” jawabku.

“Bapak minta kalian untuk menyapu ruang guru. Ibu Rizkiyah hari ini tidak masuk, anaknya sakit,” suru pak Jufri.

“Ya Pak,” sanggupku.

“Kalau dengan kita, dijamin beres,” tegas Faby.

“Kalian taruh tasnya dulu,” pinta pak Jufri.

Suasana sekolah terlihat sepi, aku dan Faby yang datang lebih awal segera masuk ke dalam kelas untuk menaruh tas. Setelah itu, mengambil sapu di belakang pintu dan langsung menuju ruang guru. Dengan senang hati kita pun menyapu.

“Faby, lihat ini” panggilku sambil menunjuk kertas di mejanya pak Benny.

“Kenapa masih ada di sini, sekarang kan sudah hari Kamis. Padahal yang hari senin kemarin pak Benny berjanji mengirim suratnya,” ujuar Faby dengan perasaan tak percaya.

“Bagaimana kalau kita ambil, kita kirim sendiri suratnya,” ideku.

“Jangan, kita tidak boleh mengambil tanpa ijin dari pemiliknya,” larang Faby

“Tapi, itu kan suratnya anak-anak kelas enam,” tegasku sambil memaksa.

“Ini kan mejanya pak Benny,” tegas Faby kembali. “Ingat, kita di sini hanya diperintahkan untuk menyapu,” tambahnya.

Aku dan Naura meneruskan menyapu. Setelah selesai menyapu, menuju warung di halaman belakang sekolah untuk beli jajan, kemudian duduk di kursi yang terdapat di bawa pohon mangga di samping warung.

Sambil menikmati jajan, aku menyampaikan pendapat kepada Faby tentang surat untuk Presiden yang ada di meja pak Benny. “Menurutku surat itu abaikan saja, karena tidak mungkin menegur pak Benny. Lebih baik membuat surat lagi dan kita kirim sendiri.” Faby mengiyakan dan menyuruhku yang membuat suratnya.

Tidak berselang lama, bel berbunyi, waktunya masuk kelas. Aku dan Faby segera menghabiskan jajan dan membuang bungkusnya ke tempat sampah. Setelah mencuci tangan, segera berbaris di depan kelas bersama teman-teman. Setelah pak Jufri datang dan berdiri di depan pintu, secara bergiliran bersalaman dan mengucapkan salam kemudian masuk ke dalam kelas.

Sebelum memulai pelajaran, berdoa terlebih dahulu yang dipimpin oleh Robi sebagai ketua kelas. Pada saat pelajaran berlangsung, aku tidak fokus terhadap pelajaran dan tidak mendengarkan penjelasan dari pak Jufri, memilih membuat surat.

Tanpa disadari pak Jufri sudah berdiri disampingku. “Naura. Apa yang kamu tulis?” tegur pak Jufri.

“Tidak, ini Pak,” jawabku dan segera menutup buku agar tidak ketahuan yang aku tulis.

“Keluarkan matematikanya” suruhnya.

“Siap pak. Maaf lupa,” sanggupku dan segera mengeluarkan buku paket matematika.

Setelah itu, pak Jufri ke depan dan menjelaskan kembali pelajarannya. Faby yang duduk disebelahku, memperingatkan agar bapak Jufri tidak tahu tentang suratnya. Mengikuti keinginan Faby, aku membuka buku paket matematika dan menaruhnya di depan buku tulis, agar pak Jufri tidak curiga kalau aku sedang menulis surat.

Setelah selesai menulis, aku berikan bukunya kepada Faby. “Faby, coba baca. Tapi isinya tidak sama dengan surat yang kemarin.”

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bapak Presiden yang baik hati dan tidak sombong, semoga bapak selalu sehat. Saya bermimpi bertemu Bapak di Istana Negara, Bapak berjanji akan mengabulkan permintaanku. Yang pertama sudah bapak kabulkan, mendoakanku kelak menjadi presiden. Untuk permintaan kedua yang belum sempat diutarakan. Saya memohon agar bapak Jufri guru SDN Dungkek I dapat diangkat menjadi Pegawai Negeri. Dia guru hebat dan baik. Demikian surat ini, mohon untuk dikabulkan. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Faby yang setuju dengan isi suratnya, memberikan bukunya dan memintaku menaruh ke dalam tas. Menyuruhku fokus ke pelajaran agar pak Jufri tak curiga.

Selang beberapa saat bel berbunyi, menandakan waktu istirahat tiba. “Anak-anak silahkan istirahat. Naura dan Faby tetap di kelas, bapak ada perlu,” pinta pak Jufri dan kemudian memanggil kita untuk kedepan mejanya.

“Kalian berdua. Bapak perhatikan, ngobrol saja, tak memperhatikan pelajaran,” tegur pak Jufri dengan nada serius, aku dan Faby hanya diam dan menundukkan kepala. “Ayo jawab” sambungnya.

“Tidak pak, saya memperhatikan pelajaran,” jawabku lirih.

“Ia benar pak,” tegas Faby dengan suara lirih juga.

“Bapak yakin, kalian menyembunyikan sesuatu. Ayo ngaku saja, kalau ada masalah mungkin bapak bisa bantu,” pinta pak Jufri dengan memaksa.

Aku dan Faby saling pandang dan saling memberikan isyarat untuk berbicara. Akhirnya Faby memberanikan diri mengatakan yang sebenarnya. “Begini Pak. Ini semua salah pak Benny.”

“Kenapa dengan pak Benny, memangnya ada apa dengan kepala sekolah, kenapa melibatkan kalian?” tanya pak Jufri dengan nada serius seolah tak percaya ketika Faby menyebut nama pak Benny.

“Pak Benny berbohong kepada kita,” tegas Faby

“Bohong apa?” tanya pak Jufri penasaran.

“Begini ceritanya pak. Senin kemarin, waktu Bapak tidak masuk. Anak-anak di kelas sepakat menulis surat untuk bapak Presiden, dan beliau berjanji mengirim suratnya. Tapi, tadi kita lihat, saat menyapu ruang guru suratnya masih ada di mejanya,” tegas Faby.

“Ia benar Pak, makanya saya dan Faby sepakat untuk menulis surat lagi untuk dikirim sendiri. Nah, pada saat pelajaran tadi, saya itu menulis suratnya,” kataku menguatkan yang dijelaskan Faby.

“Oh begitu. Mana suratnya, Bapak mau lihat,” pintanya

“Jangan Pak, ini rahasia” tegas Faby

“Kenapa harus rahasia?” tanya pak Jufri kembali.

“Pokoknya rahasia,” tegas Faby. “Lebih baik bapak bantu saja,” sambungnya.

“Ok, kalau rahasia. Sekarang, apa yang dapat bapak bantu,” tanyanya dengan merendah.

“Carikan alamat alamat Istana Negara, untuk dituliskan di amplop suratnya” pinta Faby.

Pak Jufri mengeluarkan handphone dari sakunya, terlihat membuka aplikasi google, mencari alamat Istana Negara. Kemudian mengambil amplop dari dalam laci mejanya, menuliskan alamat tujuannya. “Ini, sudah bapak tuliskan tujuan suratnya dengan lengkap, kalian tinggal masukkan suratnya.

“Terima kasih pak, Bapak baik sekali” ucap Faby yang kemudian mencium tangan pak Jufri, aku juga ikut yang dilakukan Faby.

“Mohon doanya, agar surat ini bisa sampai dan dibaca bapak Presiden,” pintaku.

“Jika kita punya niat baik, maka akan ada jalan yang baik juga,” pesan pak Jufri. “Oh iya, jangan lupa di pojok kiri atas tulis pengirimnya. Tulis saja nama kalian berdua,” tambahnya dan kemudian aku pinjam pulpen pak Jufri menuliskan nama pengirimnya.

Dengan perasaan senang, aku dan Faby keluar kelas. Faby menarik tanganku, mengajak berlari menuju warung. Setelah selesai jajan, kita langsung masuk kelas karena bel masuk berbunyi.

Aku dan Faby mengikuti pelajaran dengan baik sampai selesai. Setelah bel berbunyi tanda pulang sekolah, aku dan anak-anak yang lainnya membaca doa. Dengan tertib bergiliran bersalaman dan mengucapkan salam kepada pak Jufri, lalu keluar kelas dengan tertib.

Sesampainya di luar kelas Faby memanggil Ayu. “Ayu, tunggu.”

“Ada apa,” tanya Ayu.

“Ikut aku yuk, ke Kantor Pos, mengantar surat ini,” tanyaku sambil menunjukkan surat, kemudian Ayu melihat suratnya.

“Bukannya pak Benny yang mengirim suratnya?” tanya Ayu.

“Pak Benny Bohong,” jawab Faby spontan.

Mendengar itu, aku mencubit Faby mengisyaratkan agar tidak menceritakan yang sesungguhnya. “Tidak, maksudnya, pak Benny belum sempat mengirim suratnya,” ujarku mengalihkan jawaban Faby.

“Mau tidak, ikut aku?” tanya Faby kembali.

“Bawa saja sepedahku, aku pulang ikut Dewi,” suru Ayu.

“Makasih ya. Nanti pulangnya aku langsung ke rumahmu“ ujar Faby.

“Ayu, makasih ya,” ujarku juga.

Aku dan Faby langsung ke tempat parkir mengambil sepedanya. “Ayo Naura, kita berangkat.”

Faby di depan mengayuh sepeda, aku membonceng. Kita berangkat menuju Kantor Pos yang tidak begitu jauh. Selang sepuluh menit, kita sampai. Dengan suasana Kantor Pos yang sepi, kita langsung masuk dan menuju loket. Aku mengeluarkan suratnya dari dalam tas dan memberikan suratnya, dengan ramah petugasnya menerimanya.

“Surat untuk Bapak Presiden. Pasti mau minta sepeda ya?” tanya petugas dengan nada bercanda.

“Tidak,” jawabku dan Faby bersamaan.

Terlihat petugas memproses pengiriman suratnya. “Semuanya dua puluh tujuh ribu rupiah.”

“Kok mahal,” tanyaku

“Sesuai sistem, memang segitu biayanya,” tegas petugas.

Aku bilang ke Faby, bahwasanya aku hanya punya uang empat ribu. Sedangkan Faby bilang hanya punya uang tiga ribu. Melihat keadaan ini aku beranikan diri untuk menggagalkan pengiriman. “Pak, tidak jadi dikirim. Uang kita tidak cukup.”

Mendengar permintaanku petugasnya hanya tersenyum. “Kalau kamu ngasih tau isi suratnya, bapak bayarin,” pintanya.

“Tidak, ini rahasia,” tegas Faby.

“Ok kalau begitu, ini suratnya bawa pulang, kalian bisa kembali kalau uangnya cukup,” ujar petugas posnya dan kemudian saya ambil suratnya dan memasukkan ke dalam tas.

Dengan perasaan kecewa, aku dan Faby beranjak keluar. Aku berpikir bahwasanya sekarang hari yang tidak baik. Sesampainya di parkiran sepeda, didatangi oleh bapak Satpam.

“Maaf dek, kalian diminta untuk kembali ke loket,” pintanya.

“Pak, saya tak ingin kembali. Sampaikan, bahwasanya kita tidak mungkin ngasih tau isi suratnya” tegasku.

“Bapak tak paham masalah itu, lebih baik kalian ikut bapak,” paksanya.

Mengikuti permintaan pak Satpam, kita kembali ke loket. Sebelum sampai di loket aku dan Naura bersepakat untuk menjaga kerahasiaan isi suratnya.

Sesampainya di loket, disambut senyuman dan dua jempol dari petugas pos. “Kalian hebat, bisa menjaga kerahasiaan.”

“Terima kasih,” ujarku bersamaan dengan sedikit senyum

“Mana suratnya,” pintanya.

“Tapi,” tanyaku.

“Kalian tenang saja. Rahasia tetap rahasia,” tegasnya. “Untuk biaya pengirimannya biar bapak yang bayarin,” tambahnya.

“Benar pak?” tanya Faby.

“Banar,” jawab petugas pos dengan serius.

“Terima kasih Pak, bapak baik sekali,” ujar Faby, kemudian Faby menyuruhku untuk memberikan suratnya.

“Ini pak,” kataku sambil memberikan suratnya. “Terima kasih banyak pak,” sambungku.

Berkali-kali mengucapkan terima kasih. Kemudian kita bersalaman dan pamit untuk pulang. Dengan perasaan senang, aku dan Naura meninggalkan kantor pos.

2 komentar untuk "SURAT NAURA UNTUK PRESIDEN (Cerpen)"